Minggu, 24 Juli 2011

Kisah Sepasang Sandal Butut

Sepasang sandal yang bernama I New dan I Era menjalani hidupnya sebagaimana yang telah ditakdirkan Tuhan kepadanya. Setiap hari mereka menjadi alas kaki seorang penjual kerupuk singkong. Mereka telah bersahabat dengan aspal yang panas dan berlapis debu. Kadang mereka harus rela dicium oleh lelehan aspal yang kental dan berbau khas. Jika musim hujan, I New dan I Era menikmati masker lumpur yang berbau amis.Yah, semuanya sudah menjadi rutinas, hal biasa untuk sepasang sandal jepit butut itu.

Seperti biasa, I New dan I Era menikmati perjalanan rutin dengan menumpu kaki kasar penjual kerupuk. Rasa sakit serasa menampar sandal ketika tanpa sengaja penjual kerupuk itu menginjak paku berkarat. I Era mengumpat kesal, tubuhnya bolong karena tancapan paku payung. Ia ingin memaki penjual kerupuk, namun apa daya, ia tidak dianugerahi mulut untuk meluapkan seribu-satu umpatan kasar. Akhirnya ia hanya menggerutu kesal dan diam dalam amarah.

Setelah perjalanan yang menyakitkan itu, I Era merenungi perjalanan hidupnya. Ia lahir di sebuah pabrik sandal, tanpa ayah ibu, tanpa keluarga. Tiba-tiba saja ia telah bersanding dengan I Era. Setelah berhari-hari di pabrik, ia dibawa ke suatu tempat, kata orang yang ia dengar, nama tempat itu adalah warung. Di dalam pengap kantong plastik pembungkus, I New dan I Era menonton perjalanan hidup manusia setiap hari, sampai akhirnya ia dibeli oleh si penjual kerupuk. Aksiden tancapan paku yang dialami I Era bukan satu-satunya kepedihan yang ia alami. Pernah suatu hari, lengan I Era putus. I Era menangis meraung-raung tanpa suara. Tidak hanya sampai di situ, penjual kerupuk itu lalu menyambungkan kembali lengan I Era dengan api. Lelehan lengan I Era mampu membuat kedua bagian lengan itu kembali menyatu. Kini, I Era harus menerima keadaan, tubuhnya tidak sebaru dan semulus dulu, sudah banyak noda-noda dan kerutan yang bersatu dengan raganya.

Ah, I Era bosan menjadi sandal. Ia merasa hidupnya tidak berarti dengan wujudnya itu. Setiap hari ia hanya diinjak-injak menyusuri aspal yang panas atau jalanan berlumpur. Jika ia tidak digunakan untuk sementara, ia tidak pernah diletakkan di atas kasur yang empuk. Namun, ia hanya diparkir di atas rak kayu yang telah berjamur di luar rumah. Kadang ia harus merasakan dinginnya angin malam dan air hujan. Bukan hanya itu, si Sandal harus rela merasakan hangat dan cairnya kotoran ayam yang membuang hajat sembarangan. Untunglah si sandal tidak memiliki hidung, sehingga bau "sedap" kotoran tidak sempat ia rasakan. I Era menggerutu, betapa pahit hidupnya selama ini. Ia bahkan tidak pernah merasakan hal bahagia walau hanya sedetik.

Beda halnya dengan I New, meski setiap detik ia selalu bersama denga I Era, tetapi ia merasa kehidupannya sudah cukup bahagia. Ia bahagia telah menjadi tumpuan ibu penjual kerupuk itu. Setidaknya, ia telah mampu melindungi si ibu dari aspal panas dan jalanan berlumpur. Hal itu sudah menjadi kebahagian bagi I New. I New selalu bersyukur karena walaupun ia hanya sandal jepit, tapi  ia masih berguna bagi makhluk hidup. Rasa syukur itu membuat I New menikmati setiap detik perjuangannya sebagai hobi yang mengasyikkan.
Sayangnya, walaupun ditakdirkan untuk bersama, I Era  ingin meninggalkan sahabatnya itu. Ia berdoa agar ketika  pagi sudah menjelang, setidaknya wujudnya telah berubah. Ia ingin  menjadi polpen dan milik seorang manusia yang berdasi.
Pagi hari telah tiba. I Era terbangun dan merasa aneh dengan tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuhnya langsing dan indah. Ia kini berada  di tangan seseorang  yang tampak gagah mengenakan dasi. Wah, ternyata doa I Era benar-benar dikabulkan oleh Tuhan. Selama beberapa hari, I Era dengan santai menikmati hidupnya. Ia hanya meliuk-liuk di atas kertas putih dan istirahat di balik saku baju yang hangat. Kini ia tidak pernah lagi merasakan panasnya aspal dan kotornya jalanan berlumpur.

Kebahagian I Era tidak berlangsung lama. Setelah beberapa minggu menikmati hidupnya yang baru itu, tiba-tiba ia mendapat perlakuan kasar. Si pemilik polpen melemparkan tubuh I Era ke dalam tempat sampah yang bau dan pengap karena tinta di tubuh I Era telah habis. Yang lebih mengerikannya lagi, tubuh I era dibakar oleh petugas kebersihan di tempat pembuangan sampah. Tamatlah riwayat I Era. Ternyata menjadi sesuatu yang baru tidak selamanya menjadikan kehidupan menjadi lebih baik.

Beda halnya dengan I New. Ketika penjual kerupuk menyadari bahwa sandalnya tidak lengkap lagi, ia berniat membuang sandal  itu. Namun, hal itu dicegah oleh Si Bungsu, anak penjual kerupuk. Ia membutuhkan  sandal bekas itu untuk tugas sekolahnya. I New hanya pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. Ternyata, Si  Bungsu mengubah I New menjadi hiasan dinding yang cantik dan indah. Ibu Guru menyuruh Si Bungsu agar hiasan dinding itu dipasang di ruangan kepala sekolah. Akhirnya, I New menikmati hidupnya di dalam ruangan kepala sekolah yang nyaman dan indah. Setiap ada yang melihatnya, pasti I New mendapat pujian, karena kini ia tampak lebih anggun dan cantik.
(Nur Amaliah Idrus)

» Read Full Article

Sabtu, 23 Juli 2011

Ibu, Surga Ada Di Telapak Kakimu

Harta yang paling berharga di dunia ini adalah kasih sayang. Tanpa kasih sayang, manusia akan menjadi lemah dan rapuh. Tanpa perasaan, hidup manusia akan menjadi binasa. Jika kita ditanya siapa yang paling menyayangi kita setelah Allah, maka Ibulah sumber kasih sayang itu. Ibu telah mengandung kita selama 9 bulan, dan melahirkan kita antara hidup dan mati. Penderitaanya tidak sampai di situ. Setelah kita lahir, Beliau merawat dan melindungi kita dari apa saja yang bisa membuat kita tidak nyaman, bahkan seekor nyamukpun tidak dibiarkan untuk mengganggu tidur kita yang nyenyak. Dengan dekepannya, mampu menghentikan tangis kita. Belaiannya adalah kekuatan, seiring dengan lantunan lagu Nina Bobo yang ibu bisikkan ke telinga demi melihat kita dapat tidur dengan nyenyak. Namun Ibu tidak pernah memaksa untuk membalas pengorbanannya itu. Beliau hanya menginginkan kita berhasil untuk kehidupan kita, bukan untuknya.

Allah SWT berfirman:
Anisykurlii waliwaalidayka illalmashiir
Artinya : Bersyukurlah padaKu dan terhadap ayah bundamu, kepaduKu-lah kamu akan kembali.

Selain itu, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya, ridha Allah tergantung pada ridha ayah ibu, dan murka Allah juga tergantung pada murka ayah ibu.

Untuk itu, sebagai muslim sejati, sudah menjadi kewajiban kita untuk berbakti kepada ayah ibu. Kasihnya ibarat samudera. Tempat mencuci lumut pada diri, tempat berlayar, mutiara dan kembang laut semua darinya. Merekalah pahlawan, yang wajib kita taati setelah Allah dan Rasul-Nya. Seorang ibu adalah bidadari yang berselendang bianglala yang datang pada kita. Beliau adalah wanita terbaik di dunia yang telah membesarkan kita dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.

Orangtua adalah guru yang paling pertama yang mengajari kita mengenai dunia luar. Mengenal lika-liku kehidupan, sosok yang selalu mengajari kita agar selalu bersikap sopan-santun, berbuat baik, dan selalu membantu sesama. Tak terkecuali membekali kita dengan pendidikan agama sebelum melangkah keluar lingkungan keluarga sebagai bekal menghadapi pergaulan yang lebih rumit dan sarat dengan godaan yang akan menjerumuskan kita ke dalam kehidupan yang hitam, menyimpang dari hukum dan agama, penuh dengan hasutan iblis, musuh manusia sepanjang zaman yang kekal di dalam neraka. Untuk itu, ayah dan ibu hadir sebagai pelita, menyirami hati kita dengan ajaran ketauhidan dan etika bermuamalah agar kelak menjadi insan yang senantiasa dirindukan oleh surga yang kenikmatannya tidak pernah kita rasakan di bumi, di bagian bumi manapun. Oleh karena itu, ayah dan ibu bukan hanya berperan sebagai perantara kelahiran kita di bumi ini. Tetapi orangtua yang bertanggung jawab, juga beperan sebagai pendidik dan guru yang paling baik. Itulah mengapa tidak berlebihan ungkapan yang menyatakan bahwa surga itu ada di telapak kaki ibu. Bukan sekedar ungkapan biasa, tetapi makna ungkapan ini sarat akan pembelajaran kepada kita tentang di mana sebenarnya posisi ibu dan menyimpan makna kewajiban bagi kita untuk merealisasikan perintah Allah tentang bakti kepada ayah ibu untuk meraih surga itu.

Janganlah kita mengikuti jejak Alqamah yang durhaka kepada ibunya. Walaupun beramal shaleh kepada Allah, namun Alqamah telah melalaikan perintah Allah untuk berbakti kepada ibu. Kedurhakaannya membuat ibunya murka, sehingga bibirnya serasa terkunci utuk melafadzkan kalimat tahlil di akhir hayatnya. Tetapi ibu tetaplah ibu yang dipenuhi dengan kesucian dan rasa sayang kepada anaknya. Ibunya iba melihat Alqamah dan tidak tahan menyaksikan penderitaan anaknya sehingga ikhlas memaafkan segala dosa anaknya. Begitu mulia dan pemaafnya seorang ibu, namun bukan berarti kita bebas seenaknya menyakitinya seperti Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya yang akhirnya dikutuk menjadi batu sebagai bukti kedurhakaan yang telah dia lakukan. Bukan sekedar legenda, namun cerita ini seharusnya lebih menginspirasi kita untuk selalu berusaha melakukan dan menjadi yang terbaik untuk ayah ibu.

Jika kita adalah awan putih, maka berusahalah untuk selalu menaungi setiap langkahnya, melindunginya dari teriknya kehidupan. Dan seandainya kita adalah bintang, terangilah hidupnya, terangi setiap mimpi-mimpi dan seluruh bunganya yang tersisa. Namun kita bukan siapa-siapa. Kita bukan awan putih dan bukan pula bintang itu. Tapi kita adalah putra-putrinya yang akan selalu menyejukkan hatinya. Meskipun bukan awan ataupun bintang itu, tapi berusahalah bahwa kita akan selalu untuknya. Menggantikan cahayanya di kala mereka mulai redup, menjadi penerang ketika mereka mulai padam, dan menjadi penggantinya di kala mereka telah padam. Sebagai balasan jasa-jasanya, persembahkanlah do’a untuknya:
Oh, Ayah Ibu...........
Bila Engkau tiada, baktiku selalu
akan sampai kepadamu..
RABBIGHFIRLII WALI WALI DAYYA,
WARHAMHUMA KAMAA RABBAYAANII SHAGIRAA
Yaa Allah, ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, dan kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sewaktu kecil.

(Nur Amaliah Idrus) 

» Read Full Article

Apalah Arti Sebuah Nama?

Lebih dari sekedar sebuah agama, Islam sebagai way of life mengonsepkan bahwa pemberian nama seseorang merupakan bagian yang padu dari proses pendidikan. Sebauh nama berkaitan erat dengan penyandangnya : ketika namanya disebut, secara tidak langsung dia didoakan oleh orang yang memanggilnya. Pun tidak jarang seseorang tersugesti untuk merealisasikan namanya. Nama juga digunakan Rasulullah SAW sebagai reward atas jasa seseorang terhadap Islam.

Dengan kebagusan namanya, setiap umat Nabi Muhammad diharapkan akan hadir di tengah manusia (di dunia dan akhirat) dengan penuh izzah (kebanggan) serta keistimewaan akhlaknya. Rasulullah SAW sendiri mempunya dua buah nama yang mempunyai arti yang sama "Yang Terpuji", yaitu Ahmad (QS. 61 : 6) dan Muhammad. Dipadu dengan keindahan akhlaknya, beliau hadir sebagai figure ideal yang memang pantas untuk dipuji.

Allah SWT secara tegas melarang sesama mukmin untuk memberikan julukan yang buruk (QS. Al-Hujurat : 11). Hal ini diperkuat pula dengan perintah Rasulullah SAW untuk menamai seseorang dengan naman-nama yang baik, karena pada hari kiamat kelak setiap peserta hisab akan dipanggil namanya digandengkan dengan nama bapak masing-masing (HR Abu Dawud dengan sanad hasan).

Dalam proses pendidikan umat Rasulullah SAW juga mencanangkan "gerakan pemberian nama baik" untuk para mukmin. Nama-nama buruk diganti dengan nama yang baik, seperti Harb (perang) diubah menjadi Salim (damai), Al-Mudhhaji (yang berbaring) menjadi Al-Munba'its (yang bangkit/gesit), Hazn (susah) menjadi Sahl (mudah), dan sebagainya.

Sementara untuk nama yang sudah baik dihias dengan julukan yang menggambarkan nilai plus seseorang seperti julukan-julukan Singa Allah (Hamzah bin Abdul Muthalib), Hawari Rasulullah (Zubair bin Awwam), Yang Cemerlang dan Yang Suci (Fathimah binti Muhammad), Al-Faruq (Umar bin Khattab) dikalungkan kepada para tokoh terdepan Islam sebagai reward bagi jasa-jasanya dalam syi'ar dakwah Islam.

Adapun hikmah yang dapat kita petik dari gambaran di atas adalah : Pertama, Rasulullah SAW sebagai murabbi (pendidik) utama sungguh memperhatikan secara cermat segala aspek dalam diri mutarobbi (anak didik). Dalam hal ini aspke psikologis menjadi sorotan utama beliau.

Kedua, mari kita mengakui kesalahan kita selama ini. Kita semua merupakan murobbi, paling tidak untuk putra/putri kita masing-masing. Sudahkah kita memberikan nama yang baik, atau julukan yang baik sebagai reward (hadiah) atas sikap mereka yang manis? Ataukah kita lebih  sering memberikan julukan yang memalukan sebagai punishment (hukuman)?

Sementara itu patut disayangkan bahwa nama-nama bagus semisal Siti Aisyah, Ahmad, Nurlia dan Salamah dikisahkan secara miring dalam beberapa lagu yang berkonotasi erotisme jahiliyah. Hal ini menjadi "sebab nilai setitik rusak susu sebelanga". Untuk membersikan susu, "Gerakan Nama Baik untuk Semua" ada baiknya dibudayakan kembali.

Masalahnya, siapkah kita mendidik putra/putri kita menjadi pribadi sesuai namanya? (Sri Vira Chandra, S.S)

sumber : Republika

» Read Full Article

Jumat, 22 Juli 2011

Besi

Di dalam Al-Qur'an terdapat sebuah surat yang bernama Al-Hadid, yang artinya besi. Tetapi isi surat itu mengenai iman, infak dan cahaya. Lalu bagaimana kaitannya?

Dalam ayat pertama Surat Al-Hadid, Allah menginformasikan bahwa seluruh alam semesta ubu bertasbih mengagungkan kebesaran-Nya. Ini, sebagaiaman dipahami dari ayat 2-6, karena Allah lah yang menciptakan dan memilikinya.

Allah lalu meminta manusia agar beriman dan mengorbankan sebagian kekayaan yang sesungguhnya hanya dititipkanNya kepada manusia (ayat 7-10). Selanjutnya dijelaskan bahwa orang yang menginfakkan hartanya itu sama artinya denganmengutangi Allah. Orang itu di akhirat nanti akan memiliki nur (cahaya) yang menuntun jalan mereka ke surga.

Sebaliknya orang munafik, yang difahami sebagai mukmin yang tidak membuktikan iman dengan infak, berada dalam kegelapan. Mereka meminta sejumput cahaya dari yang berinfak tadi, tetapi mereka justru diminta kembali ke dunia untuk mencari cahaya itu dengan berinfak, yang mustahil terjadi. Hari itu, dengan apapun, cahaya itu tidak dapat dibeli (ayat 11-16).

Lebih lanjut Allah mengharapkan kiranya sudah datang saatnya bagi manusia untuk menghidupsuburkan batin mereka, yang dipahami dengan beriman dan berinfak, yang dampaknya ditamsilkan senagaimana bumi menjadi hidup karena air. Mereka yang beriman dan berinfak itulah yang pantas diberi titel pejuang (ayat 17-19).

Lalu Allah mengingatkan bahwa kesenangan di dunia ini hanyalah sementara, sebagaimana tanaman yang tumbuh subur kemudian layu dan mati. Terserah pada manusia apakah sewaktu di dunia akan memilih azab atau kah ridho Allah di akhirat. Karena itu segeralah memutar haluan. Jangan sampai menunggu bencana datang karena kikir (ayat 20-24).

Akhirnya Allah mengisahkan bagaimana para nabi dilengkapi dengan mukjizat, wahyu dan kemuliaan. Dan terakhir Allah memanggil kaum beriman agar bertakwa dan terus-menerus meningkatkan keimanan. Dengan demikianlah mereka akan memperoleh dua karunia besar sekaligus, yaitu martabat yang tinggi dan kemampuan berbuat kebajikan, di samping memperoleh cahaya yang menuntun kebahagiaan di dunia dan ke dalam surga di akhirat (ayat 25-19).

Demikianlah, inti surat itu adalah dorongan agar manusia beriman dan berinfak, dan banyak sekali berbicara tentang cahaya. Hal itu kiranya berarti bahwa iman dan infak itulah yang membuahkan cahaya. Sebaliknya bila kita kurang beriman dan kuang infak, kehidupan kita tentu akan kelam. Apalagi bila yang diambil bukan hak kita, maka enath bagaimana pekatnya kehidupan, dan di akhirat akan terperosok ke dalam jurang neraka.

Dan karena anjuran tentang iman dan infak ini terdapat di dalam Surat Al-Hadid yang berarti besi, kiranya maksudnya adalah bahwa bila manusia beriman dan berinfak, dampaknya akan begitu kuat seperti besi. Wallaahu A'lam. (Prof. Dr. Salman Harun)

sumber : Republika

» Read Full Article

Antara Tangis dan Tawa

Pada suatu ketika di Hari Raya Idul Fitri, sufi Ibn al-Wardi bertemu dengan sekelompok orang yang sedang tertawa terbahak-bahak. Melihat pemandangan itu, Ibn al-Wardi menggerutu sendiri. Katanya, ''Kalau mereka memperoleh pengampunan, apakah dengan cara itu mereka bersyukur kepada Allah, dan kalau mereka tidak memperoleh pengampunan, apakah mereka tidak takut azab dan siksa Allah?''

Kritik Ibn al-Wardi ini memperlihatkan sikap kebanyakan kaum sufi. Pada umumnya mereka tidak suka bersenang-senang dan tertawa ria. Mereka lebih suka menangis dan tepekur mengingat Allah. Bagi kaum sufi, tertawa ria merupakan perbuatan tercela yang harus dijauhi, karena perbuatan tersebut dianggap dapat menimbulkan ghaflah, yaitu lalai dari mengingat Allah.

Akibat buruk yang lain, tertawa ria dapat membuat hati menjadi mati, yang membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah (Al-Zumar: 22), tidak dapat menerima petunjuk (Al-Baqarah: 7), dan mudah disesatkan oleh setan (Hajj: 53). Pada waktu Perang Tabuk, orang-orang munafik berpaling dan menolak berperang bersama Nabi. Mereka justru bersenang-senang dan tertawa ria di belakang beliau. Tentu saja mereka dikecam oleh Allah dan diancam hukuman berat. Firman-Nya, ''Katakanlah: Api neraka itu lebih sangat panasnya jikalau mereka mengetahui.

Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.'' (Al-Taubah: 81-82). Ayat di atas, menurut pakar tafsir al-Razi, datang dalam bentuk perintah (al-amr), tetapi mengandung makna berita (al-khabar). Dalam perspektif ini, ayat tersebut bermakna bahwa kegembiraan dan suka cita orang-orang munafik itu sesungguhnya sebentar, tidak lama, lantaran kenikmatan dunia tidak kekal alias terbatas.

Sedangkan duka dan penderitaan mereka di akhirat justru berlangsung lama dan terus-menerus, lantaran azab dan siksa Tuhan di akhirat kekal abadi alias selama-lamanya. Ini berarti, setiap orang dihadapkan pada dua pilihan yang bersifat antagonistik, yaitu tertawa ria di dunia, tetapi menangis di akhirat, atau menangis di dunia, tetapi riang gembira dan tersenyum di akhirat. Dalam hadis sahih, Nabi pernah berpesan agar kaum Muslim lebih banyak menangis daripada tertawa ria. Katanya, ''Jikalau kalian mengetahui apa yang kuketahui, pastilah kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.'' (HR Bukhari-Muslim). Di akhirat, berbeda dengan di dunia, manusia akan terbagi menjadi dua golongan saja.

Pertama, golongan yang bersuka cita dan tertawa ria. Mereka itulah para penghuni surga. Kedua, golongan orang yang menderita dan bermuram durja. Mereka itulah para penghuni neraka. Allah berfirman: ''Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu dan ditutup pula oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.'' ('Abasa: 38-42). Semoga kita termasuk golongan orang yang dapat tertawa ria di akhirat kelak. Amin. (A Ilyas Ismail)

sumber : Republika

» Read Full Article

Anti Korupsi

Imam Malik dalam Al-Muwattha' meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mengirim 'Abdullah ibn Rawahah berangkat ke Khaibar (daerah Yahudi yang tunduk pada kekuasaan Islam) untuk memungut kharaj dari hasil tanaman kurma mereka. Rasulullah SAW telah memutuskan hasil bumi Khaibar dibagi menjadi dua; separo untuk kaum Yahudi sendiri yang mengolahnya dan separonya lagi diserahkan kepada kaum Muslimin.

Ketika 'Abdullah ibn Rawahah menjalankan tugasnya, orang-orang Yahudi mendatangi beliau. Mereka mengumpulkan perhiasan istri-istri mereka dengan niat untuk menyogok. Mereka berkata, ''Ini untukmu dan peringanlah pungutan yang menjadi beban kami. Bagilah kami lebih dari separo.''
'Abdullah ibn Rawahah kemudian menjawab, ''Hai orang-orang Yahudi, dengarkanlah! Bagiku, kalian adalah makhluk yang dimurkai oleh Allah. Aku tidak akan membawa perhiasan itu dengan harapan aku akan meringankan (pungutan) yang menjadi kewajiban kalian. Suap yang akan kalian berikan ini sesungguhnya merupakan suht (harta haram). Sungguh, kami tidak akan memakannya.''

Dalam riwayat lain dikisahkan tentang sikap Umar ibn al-Khathab yang pada saat itu menjadi penguasa negara Islam dalam melaksanakan praktik-praktik kesederhanaan hidup. Umar memakai pakaian bertambal yang sulit membedakannya secara fisik dengan gaya hidup masyarakat umum yang dipimpinnya. Beliau pun pantang menikmati kelezatan makanan jika kebanyakan rakyatnya belum merasakannya. Pada suatu hari, Umar menerima bingkisan makanan dari pembesarnya di daerah. Kepada utusan itu, Umar menanyakan, 

''Apa ini?''

''Makanan ini biasa dibikin oleh penduduk Azerbaijan,'' ujar utusan itu, ''dan sengaja dikirim untuk Anda dari 

'Atabah ibn Farqad (gubernur Azerbaijan).''
Umar mencicipinya dan rasanya enak sekali. Beliau bertanya lagi kepada utusan tersebut, ''Apakah seluruh kaum Muslim di sana menikmati makanan seperti ini?''

'Tidak, makanan ini hanya untuk golongan tertentu.'' jawab utusan itu.
Umar menutup kembali wadah makanan itu dengan rapi, kemudian bertanya pada utusan, ''Di mana untamu? Bawalah kembali kiriman ini serta sampaikan pesan Umar kepadanya, 'Takutlah kepada Allah dan kenyangkanlah kaum Muslim terlebih dahulu dengan makanan yang biasanya kamu makan',''

Sebagai khalifah, Umar pun dikenal sangat menekankan prinsip kesederhanaan terhadap pejabat bawahannya. Khuzaymah ibn Tsabit berkata, ''Jika Umar mengangkat seorang pejabat, ia akan menuliskan untuknya perjanjian dan akan mensyaratkan kepada pejabat itu untuk: tidak mengendarai kuda (yang pada waktu itu menjadi kendaraan mewah); tidak memakan makanan yang berkualitas tinggi; tidak memakai baju yang lembut dan empuk; dan tidak pula menutup rumahnya bagi orang-orang yang membutuhkan dirinya. Jika itu dilakukan, ia telah bebas dari sanksi.''

Sikap dari kedua pejabat negara yang dikisahkan di atas tentunya menjadi jaminan bahwa memang korupsi tak pernah ada atau paling tidak akan sangat jarang ditemukan ketika Islam telah mewarnai kehidupan kenegaraan. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan sistem sanksi Islam untuk para koruptor, seperti yang disebutkan Abdurrahman al-Maliki dalam Nizham al 'Uqubat, yaitu dapat dikenai hukum ta'zir 6 bulan hingga 5 tahun. Apabila jumlah yang dikorupsi dapat membahayakan ekonomi negara, maka koruptor tersebut dapat dijatuhi hukuman mati. (Ihsanul Muttaqin)

sumber : Republika

» Read Full Article