Minggu, 24 Juli 2011

Kisah Sepasang Sandal Butut

Sepasang sandal yang bernama I New dan I Era menjalani hidupnya sebagaimana yang telah ditakdirkan Tuhan kepadanya. Setiap hari mereka menjadi alas kaki seorang penjual kerupuk singkong. Mereka telah bersahabat dengan aspal yang panas dan berlapis debu. Kadang mereka harus rela dicium oleh lelehan aspal yang kental dan berbau khas. Jika musim hujan, I New dan I Era menikmati masker lumpur yang berbau amis.Yah, semuanya sudah menjadi rutinas, hal biasa untuk sepasang sandal jepit butut itu.

Seperti biasa, I New dan I Era menikmati perjalanan rutin dengan menumpu kaki kasar penjual kerupuk. Rasa sakit serasa menampar sandal ketika tanpa sengaja penjual kerupuk itu menginjak paku berkarat. I Era mengumpat kesal, tubuhnya bolong karena tancapan paku payung. Ia ingin memaki penjual kerupuk, namun apa daya, ia tidak dianugerahi mulut untuk meluapkan seribu-satu umpatan kasar. Akhirnya ia hanya menggerutu kesal dan diam dalam amarah.

Setelah perjalanan yang menyakitkan itu, I Era merenungi perjalanan hidupnya. Ia lahir di sebuah pabrik sandal, tanpa ayah ibu, tanpa keluarga. Tiba-tiba saja ia telah bersanding dengan I Era. Setelah berhari-hari di pabrik, ia dibawa ke suatu tempat, kata orang yang ia dengar, nama tempat itu adalah warung. Di dalam pengap kantong plastik pembungkus, I New dan I Era menonton perjalanan hidup manusia setiap hari, sampai akhirnya ia dibeli oleh si penjual kerupuk. Aksiden tancapan paku yang dialami I Era bukan satu-satunya kepedihan yang ia alami. Pernah suatu hari, lengan I Era putus. I Era menangis meraung-raung tanpa suara. Tidak hanya sampai di situ, penjual kerupuk itu lalu menyambungkan kembali lengan I Era dengan api. Lelehan lengan I Era mampu membuat kedua bagian lengan itu kembali menyatu. Kini, I Era harus menerima keadaan, tubuhnya tidak sebaru dan semulus dulu, sudah banyak noda-noda dan kerutan yang bersatu dengan raganya.

Ah, I Era bosan menjadi sandal. Ia merasa hidupnya tidak berarti dengan wujudnya itu. Setiap hari ia hanya diinjak-injak menyusuri aspal yang panas atau jalanan berlumpur. Jika ia tidak digunakan untuk sementara, ia tidak pernah diletakkan di atas kasur yang empuk. Namun, ia hanya diparkir di atas rak kayu yang telah berjamur di luar rumah. Kadang ia harus merasakan dinginnya angin malam dan air hujan. Bukan hanya itu, si Sandal harus rela merasakan hangat dan cairnya kotoran ayam yang membuang hajat sembarangan. Untunglah si sandal tidak memiliki hidung, sehingga bau "sedap" kotoran tidak sempat ia rasakan. I Era menggerutu, betapa pahit hidupnya selama ini. Ia bahkan tidak pernah merasakan hal bahagia walau hanya sedetik.

Beda halnya dengan I New, meski setiap detik ia selalu bersama denga I Era, tetapi ia merasa kehidupannya sudah cukup bahagia. Ia bahagia telah menjadi tumpuan ibu penjual kerupuk itu. Setidaknya, ia telah mampu melindungi si ibu dari aspal panas dan jalanan berlumpur. Hal itu sudah menjadi kebahagian bagi I New. I New selalu bersyukur karena walaupun ia hanya sandal jepit, tapi  ia masih berguna bagi makhluk hidup. Rasa syukur itu membuat I New menikmati setiap detik perjuangannya sebagai hobi yang mengasyikkan.
Sayangnya, walaupun ditakdirkan untuk bersama, I Era  ingin meninggalkan sahabatnya itu. Ia berdoa agar ketika  pagi sudah menjelang, setidaknya wujudnya telah berubah. Ia ingin  menjadi polpen dan milik seorang manusia yang berdasi.
Pagi hari telah tiba. I Era terbangun dan merasa aneh dengan tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuhnya langsing dan indah. Ia kini berada  di tangan seseorang  yang tampak gagah mengenakan dasi. Wah, ternyata doa I Era benar-benar dikabulkan oleh Tuhan. Selama beberapa hari, I Era dengan santai menikmati hidupnya. Ia hanya meliuk-liuk di atas kertas putih dan istirahat di balik saku baju yang hangat. Kini ia tidak pernah lagi merasakan panasnya aspal dan kotornya jalanan berlumpur.

Kebahagian I Era tidak berlangsung lama. Setelah beberapa minggu menikmati hidupnya yang baru itu, tiba-tiba ia mendapat perlakuan kasar. Si pemilik polpen melemparkan tubuh I Era ke dalam tempat sampah yang bau dan pengap karena tinta di tubuh I Era telah habis. Yang lebih mengerikannya lagi, tubuh I era dibakar oleh petugas kebersihan di tempat pembuangan sampah. Tamatlah riwayat I Era. Ternyata menjadi sesuatu yang baru tidak selamanya menjadikan kehidupan menjadi lebih baik.

Beda halnya dengan I New. Ketika penjual kerupuk menyadari bahwa sandalnya tidak lengkap lagi, ia berniat membuang sandal  itu. Namun, hal itu dicegah oleh Si Bungsu, anak penjual kerupuk. Ia membutuhkan  sandal bekas itu untuk tugas sekolahnya. I New hanya pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. Ternyata, Si  Bungsu mengubah I New menjadi hiasan dinding yang cantik dan indah. Ibu Guru menyuruh Si Bungsu agar hiasan dinding itu dipasang di ruangan kepala sekolah. Akhirnya, I New menikmati hidupnya di dalam ruangan kepala sekolah yang nyaman dan indah. Setiap ada yang melihatnya, pasti I New mendapat pujian, karena kini ia tampak lebih anggun dan cantik.
(Nur Amaliah Idrus)

0 komentar:

Posting Komentar